Kontroversi Raden Sayid Kuning Sang pelopor Islam Aboge

 



Sebenarnya, silsilah atau asal-usul Raden Sayid Kuning sendiri tidak begitu jelas. Dalam buku sejarah versi Babad Purbalingga, hanya ada tokoh bernama Sayid Abdullah atau Kyai Samsudin. Pada versi Babad Onje, nama Abdullah disebut dengan Ngabdullah (hlm 27).Versi Babad Purbalingga menyebutkan, Sayid Abdullah adalah menantu Adipati Onje II, Kiai Dipati Anyakrapati. Dia mempersunting putri pertama Anyakrapati —hasil perkawinannya dengan istri kedua—, yaitu putri Adipati Pasir Luhur (hlm 23).

Sementara itu versi Babad Onje justru menyebutkan tokoh bernama Abdullah (Ngabdullah) sebagai Kiai Dipati Anyakrapati. Dia adalah anak tiri Kiai Tepusrumput atau yang dikenal dengan nama Ki Ageng Ore-Ore (Adipati Onje I) (hlm 27).

Namun dalam peta silsilah Babad Banyumas (hlm 37); sub-bagian Babad Purbalingga (Onje) disebutkan bahwa Sayid Abdullah adalah suami dari Putri Adipati Onje II, hasil perkawinan dengan Putri Pasir Luhur. Adipati Onje II punya dua istri, yaitu Putri Cipaku dan Putri Pasir Luhur. Karena perselisihan, keduanya lalu dibunuh. Sebagai gantinya, disuntinglah putri Kiai Pingen bernama Arenan. Adipati Onje I menyebarkan agama Islam pada kurun waktu antara Abad XVI sampai XVII. Setelahnya, dilanjutkan oleh Sayid Kuning. Oleh masyarakat, nama Raden Sayid Kuning dikenal sebagai ulama penerus perjuangan Adipati Onje dalam menyebarkan agama Islam. Sayid Kuning-lah yang menciptakan sistem kalender Aboge, yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh pengikutnya.
Kendatipun seorang Arab, tetapi Raden Sayid Kuning mengajarkan Islam Jawa yang disebut  Islam  Aboge berpusat di desa  Onje  dan penganutnya kini sudah tersebar luas di beberapa daerah pulau Jawa. Aboge sendiri sebenarnya singkatan dari Alif Rebo Wage, yaitu sebutan untuk nama tahun pertama (tahun Alif)  dalam sewindu (delapan tahun).

Untuk menentukan  hari dan tanggal satu setiap bulan dalam kalender itu, Raden Sayid Kuning  menetapkan hari  Rabu Wage  sebagai tanggal satu tahun pertama atau tahun Alif. 

Tanggal, hari dan bulan inilah yang dijadikan dasar untuk menentukan  tanggal satu pada bulan-bulan berikutnya. 

Kemudian Raden Sayid Kuning  menetapkan seluruh tanggal dalam masa sewindu. Penanggalan inilah yang dijadikan dasar perhitungan hari dan tanggal oleh para pengikut  Aboge sampai sekarang.

Jadi untuk menentukan tanggal dan hari,para pengikutnya tinggal melihat nama  dan angka tahunnya. Kemudian baru melihat pasarannya. Misalnya dalam  kalender Aboge , tanggal  1 Romadhon  1428 Hijriyah jatuh pada hari Jumat Wage tanggal 14 September  2007, sedangkan  kebanyakan umat Islam  lain   sudah memulai puasa  hari Kamis Pon  13 September 2007 atau sehari sebelumnya.  

“Meskipun seringkali tidak sama dalam penentuan  tanggal 1 Romadhon maupun 1 Syawal dengan kebanyakan umat Islam, tetapi penganut Islam Aboge tidak pernah mempersoalkan hal tersebut. Sebab urusan menjalankan perintah agama itu adalah merupakan keyakinan  masing-masing orang. Bahkan bila terjadi perbedaan dengan keputusan pemerintah pun, kami  tetap  pada keyakinannya. Asal  pemerintah tidak memaksakan dan mempermasalahkan  ajaran yang kami yakini  ini” , kata Masngadi seorang imam masjid Sayid Kuning dan kesepuhan ajaran Aboge di desa Onje, kecamatan Mrebet  Purbalingga.


Dalam menyebarkan agama Islam, rupanya  Raden Sayid Kuning maniru cara yang dilakukan oleh para wali Songo, yaitu melakukan pendekatan lewat budaya  terhadap orang-orang Jawa. Melalui budaya inilah, Raden Sayid Kuning  tidak merasa sulit dalam  memberi ajaran Islam kepada  masyarakat Jawa yang waktu itu kebanyakan  masih menganut kejawen.  Sehingga dengan percampuran dua keyakinan itu, muncullah Islam Aboge sebagai sisi kehidupan religi bagi para penganutnya.

Saat pemerintahan Adipati Onje II (Raden Hanyokropati) yang masih menjadi duda itu mencapai pada puncaknya, perkembangan agama Islam di daerah itu  tampak sangat pesat. Sebab selain dikembangkan  oleh Raden Sayid Kuning yang datang dari Arab, juga banyak  pedagang-pedagang  luar daerah  atau luar pulau yang berkunjung kesana untuk mencari nafkah sambil menyebarkan agama Islam.  Mereka bergerak ke pelosok-pelosok desa yang jauh dari keramaian dan tinggal berbulan-bulan di sana. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Selama bergaul dengan penduduk itulah, peluang mereka semakin luas untuk mengembangkan agama Islam. 

Di antara para pendatang itu, terdapat seorang bangsawan, putra dari raja Pajajaran (Jawa Barat) bernama Raden  Munding Sari atau  Raden Liman Sujana. Sebenarnya ia berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Pajajaran, namun entah karena apa kedudukan itu diserahkan kepada adik kandungnya bernama  Raden Munding Wangi.  Kemudian  ia meninggalkan Pajajaran dan pergi bertapa di bawah pohon jambu di lereng gunung Krang Banten.

Dari tempat pertapaan inilah, ia melihat adanya “Nur”  yang memancarkan sinarnya  jauh diujung timur.  Segera ia beranjak dari pertapaannya, dan berjalan menuju ketimur dengan menyusuri  pantai utara Jawa. Sesampainya di Tegal, ia membelok ke selatan  di mana nur itu tampak dekat sekali. Ternyata sesampai di tengah hutan, ia tidak menjumpai nur tadi, tetap bertemu dengan seorang penderes bernama ki Kelun yang sedang memanjat pohon enau sambil  menggendong anak perempuannya yang masih kecil bernama  Rubiah Bakti. Ki Kelun mengaku dari  desa Wana Kasimpar yang kemudian berganti menjadi Pamidangan dan sekarang bernama desa Rajawana. 

Ki Kelun adalah seorang duda yang ditinggal mati isterinya, ketika Rubiah Bakti masih bayi. Oleh karena kasih sayang terhadap putrinya itu sangat besar, sehingga kemana Ki Kelun pergi, putrinya yang masih kecil itu senantiasa berada di punggungnya.

Karena merasa iba dan kasihan, Raden Liman Sujana kemudian mengambil Rubiah Bakti sebagai anak angkatnya.  Ia lalu tinggal di Rajawana bersama Ki Kelun selama bertahun-tahun.   Pada suatu hari datanglah seorang mubaligh Islam dari negeri Arab untuk mencari  nur yang beberapa tahun selam juga pernah dilihatnya  di sini. Pendatang baru ini yang dikenal   bernama   Syech Atas Angin, memberi  salam secara Islam. Namun  tidak dijawab, karena Raden Liman Sujana beragama Hindu. 

Bahkan ia menantang Syech Atas Angin  untuk mengadu ilmu kasekten. Ternyata dalam adu ilmu itu, Raden Liman Sujana mengaku kalah dan menyerah, kemudian menyatakan kesanggupannya untuk memeluk agama  Islam.Namun sebelumnya Syech Atas Angin  minta  syarat, agar Raden Liman Sujana antara lain membaca dua kalimah syahadat,mandi taubat,memotong rambut, kuku dan sebagainya, yang sampai sekarang masih ada petilasannya. 

Oleh masyarakat petilasan itu disebut Ardi Lawet, dari asal kata khalwat yang berarti bertapa mohon kepada Allah  SWT. Seperti halnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW khalwat di goa Hiro.Selain itu nama Liman Sujana  diganti menjadi Syech Jambu Karang. Nama ini  karena ia pernah bertapa di bawah pohon jambu di lereng gunung Karang Banten Jawa Barat.

No comments:
Write komentar