Paniknya PKS & PKB , Tidak Ada Satupun Landasan Hukum Yang Mampu Hentikan AHOK, Legislatif Tidak Berhak Memasuki Wilayah Eksekutif

 


Wakil Ketua DPR, Lukman Edy, yang juga politisi PKB, menyatakan Ahok bisa diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta tanpa adanya keputusan Presiden (Kepres). Selain itu juga politisi PKB tersebut menyatakan bahwa bisa pula diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau meminta Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk mengeluarkan putusan sela agar Ahok diberhentikan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun itu adalah kekesesatan hukum, dikarenakan:

Ahok hanya dapat diberhentikan dan pemberhentian Ahok menjadi sah secara hukum apabila Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres), sebagai bukti sahnya pemberhentian Ahok, tanpa adanya surat pemberhentian melalui Keputusan Presiden (Kepres), yang dikeluarkan Presiden Jokowi, Ahok tidak dapat diberhentikan oleh insitusi manapun juga, karena yang dapat memberhentikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, hanyalah Presiden sebagai kepala eksekutif tertinggi di Republik Indonesia.

Pun termasuk Menteri Dalam Negeri, yang juga tidak memiliki kewenanganan sama sekali untuk memberhentikan Gubernur. Dan jika selama ini Tjahyo Kumolo yang ditekan habis-habisan agar memberhentikan sementara Ahok, itu adalah kekeliruan hukum, dan kesesatan hukum, dikarenakan Menteri Dalam Negeri, hanya dapat memberhentikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota beserta Bupati dan Wakil Bupati, tidak ada dasar hukum bagi Mendagri untuk bisa memberhentikan Ahok. Jikalau masih ada yang ngotot , bahwa tidak harus Presiden Jokowi yang memberhentikan Ahok, tetapi Mendagri Tjahyo Kumolo bisa memberhentikan Ahok, sebagaimana yang terjadi belakangan ini, yang jadi pertanyaan hukumnya, apa dasar hukum Mendagri bisa memberhentikan Gubernur?

Jadi, pernyataan Lukman Edy, Wakil Ketua Komisi II, yang menyatakan Ahok bisa diberhentikan tanpa adanya Kepres, adalah tidak memiliki dasar hukum dan tidak beralasan secara hukum. Karena dasar hukum pemberhentian Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, hanya dapat mengacu pada Pasal 83 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Karena tidak ada kewenangan hukum selain Presiden, karena hanya Presiden yang dapat memberhentikan Gubernur (Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur (DKI Jakarta).

Selain itu, Lukman Edy, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI , juga menyatakan bahwa Ahok bisa diberhentikan lewat putusan sela Pengadilan Negeri, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Utara, ini juga yang fatal sekali kekeliruan hukumnya, dikarenakan tidak ada dasar hukum sama sekali bagi Pengadilan Negeri untuk bisa memberhentikan Gubernur (Ahok) lewat putusan sela, dikarenakan kewenangan Pengadilan Negeri hanya terbatas pada memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diadilinya, tidak ada selain daripada ketiga hal tersebut.

Sehingga yang jadi pertanyaan besarnya, jika mendesak agar Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan putusan sela, apa yang jadi dasar hukumnya? Pengadilan Negeri sama sekali tidak bisa mengeluarkan putusan sela yang sifatnya administratif (memberhentikan seorang kepala daerah/wakil kepala daerah), dikarenakan itu bukan wewenang dari Pengadilan Negeri.

Terlebih lagi Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sudah lebih dulu mengeluarkan putusan sela yakni setelah pembacaan eksepsi, sehingga jika sekarang Wakil Ketua Komisi II, Lukman Edy meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar mengeluarkan putusan sela untuk bisa memberhentikan Ahok, yang jadi pertanyaan besarnya adalah apakah Lukman Edy, paham mengenai putusan sela.

Karena yang perlu dipahami, putusan sela, putusan yang dikeluarkan majelis hakim dan putusan itu dikeluarkan sebelum menyinggung pokok perkara dalam surat dakwaan.Nah, sehingga jika meminta agar Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan putusan sela agar Ahok diberhentikan dengan putusan sela, itu tidak nyambung, dikarenakan itu bukan kewenangan Pengadilan Negeri, apalagi putusan sela hanya bisa dikeluarkan satu kali sebelum asuk ke pokok perkara. Jadi maksud Lukman Edy, keluarkan lagi putusan sela untuk yang kedua kalinya, tidak apa-apa walau itu bukan kewenangan Pengadilan Negeri, seperti itulah maksudnya. Jelas ini ngawur, karena memaksa Pengadilan Negeri untuk melanggar KUHAP, khususnya Pasal 84 ayat 1 KUHAP.

Selain itu, blunder hukum yang lebih fatal lagi dilakukan kembali oleh Lukman Edy, yang menyatakan bahwa jika Ahok tidak diberhentikan, maka bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena yang jadi pertanyaan besaranya apa isi materi gugatan yang bisa diajukan ke PTUN, jika mendesak agar Ahok diberhentikan lewat jalan gugatan ke PTUN?

Karena jelas PTUN, hanya dapat membatalkan keputusan pejabat pemerintahan apabila ada kekeliruan dan kesalahan prosedur dalam keluarnya putusan oleh pejabat pemerintahan. Nah, jika PTUN bisa mengabulkan gugatan dan memerintahkan agar Ahok segera diberhentikan, timbul lagi nih pertanyaan hukumnya, apa dasar hukum dan alasan hukum yang digunakan apabila PTUN bisa mengabulkan gugatan pemberhentian Ahok sebagai Gubernur?

Karena dalam Pasal 2 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, jelas dinyatakan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian putusan Tata Usaha Negara , adalah yang masih memerlukan persetujuan. Frasa ‘’Persetujuan’’, tersebut menjadi penghalang sehingga PTUN tidak bisa mengeluarkan putusan pemberhentian Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, dikarenakan putusan pemberhentian Ahok memerlukan persetujuan Presiden, yang diwujudkan dalam bentuk Kepres. Tanpa Presiden mengeluarkan Kepres, itu tidak ada kaitannya dengan PTUN.

Jika digunakan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN, yakni, pejabat tata usaha tidak mengeluarkan keputusan , sedangkan itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut disamakan dengan keputusan TUN’’? Lho, justru itu yang keliru, dikarenakan pasal itu masih bertentangan dengan Pasal Pasal 2 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, jelas dinyatakan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian putusan Tata Usaha Negara , adalah yang masih memerlukan persetujuan. Dalam hal ini pemberhentian Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, harus mendapat persetujuan Presiden Jokowi melalui Kepres.

Dikarenakan PTUN tidak memiliki kewenangan apapun untuk memberhentikan Ahok, dikarenakan pemberhentian Ahok hanya ada pada ranah eksekutif, Presiden sebagai kepala pimpinan eksekutif tertinggi, mana bisa PTUN, yang berada dalam ranah yudikatif, memerintahkan Presiden agar mengeluarkan Keppres, itu tidak ada dasar hukumnya. Terlebih lagi saat ini, Presiden Jokowi sudah berjalan sesuai koridor hukum, yakni tidak memberhentikan Ahok dikarenakan ancaman pidananya hanya ‘’paling lama’’ bukan ‘’paling singkat’’ yang jadi syarat pemberhentian sebagaimana yang terdapat dala Pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Termasuk pula PKS, yang menyatakan Ahok bisa diberhentikan dengan frasa ‘’dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Indonesia’’ , yang terkandung dalam Pasal 83 ayat 1, adalah memalukan , dikarenakan:

Perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI, itu perbuatan pidana yang seperti apa? Frasa tersebut bertentangan dengan asas legalitas. Kemudian, seperti apa kualifikasi tindak pidana yang dapat memecah belah NKRI? Apa dasar hukum jika menyatakan perbuatan Ahok dapat memecah belah NKRI? Apa saja unsur-unsur perbuatan yang dapat memecah belah NKRI? Apa tolok ukur untuk menyatakan bahwa perbuatan Ahok dapat dikategorikan sebagai perbuatan dapat memecah belah NKRI?Apa jenis delik pada frasa tersebut jika menyatakan perbuatan Ahok masuk ke dalam frasa ‘’ ’dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Indonesia’’ yang dapat memecah belah NKRI?

Jadi, tidak ada satu pun alasan untuk memberhentikan Ahok, termasuk dengan menggunakan frasa tersebut, dikarenakan frasa tersebut tidak jelas , bertentangan dengan asas nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali/asas legalitas (vide: Pasal 1 ayat 1 KUHP), dikarenakan dalam KUHP pun, tidak ada satu pasal pun yang mengatur perbuatan yang dapat memecah belah NKRI, jadi di mana pasal mengenai perbuatan yang dapat memecah belah NKRI? seword

No comments:
Write komentar