Sebut Di Surga Ada Pesta Sekh, Benarkah Kenikmatan Surga Seperti Digambarkan Ustadz Ini ?

 


“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan” (QS. As-Sajdah :17)

Hari akhir, akhirat, surga dan neraka menjadi ranah gaib. Gaib bukan berarti tidak ada. Dalam setiap agama dan kepercayaan, tema-tema tersebut mesti diimani meski untuk membuktikan secara ilmiah jangkauan ilmu manusia belum bisa membuktikan keberadaan alam-alam tersebut.

Tetapi, ya itulah. Tidak semua point atau tema dalam agama yang bisa dijelaskan secara akal. Nah, ranah yang masih belum bisa dijelaskan secara akal, disebut dengan ranah gaib. Bagi yang meyakini kebenaran agama, kita dituntut untuk memercayainya, meyakininya bahwa hal itu benar-benar ada.

Lantas, darimana kita mengetahui tentang keberadaan alam gaib ? Tentu saja dari utusan Tuhan, yakni nabi dan rasul. Mereka sebagai pembawa berita, pemberi informasi, penyambung lidah Tuhan yang memberikan kabar kepada umat manusia tentang alam-alam tersebut.

Namun, interpretasi mengenai kenikmatan surgawi atau bahkan hukuman di neraka terkadang dijelaskan secara maknawi. Penuh dengan simbol-simbol dan tidak bisa diterjemahkan secara literal. Oleh karenanya, untuk menafsirkannya tidak boleh sembarangan, yang bakalan merusak pemaknaan kita terhadap alam akhirat, surga dan neraka.

Tapi sayangnya, sebagian kita justru asyik dan merasa paling tahu mengenai kenikmatan surga dan hukuman di neraka. Kita mengambil mudahnya saja. Bahwa kenikmatan surga adalah bidadari, sungai madu dan susu beserta seabrek kenikmatan lainnya. Begitu pula sebaliknya ketika kita menjelaskan hukuman di neraka. Seakan-akan kita lebih pintar dan mengerti daripada utusan Tuhan sendiri. Hal ini juga yang dipercayai sebagian ulama, ustadz atau mereka-mereka yang menyebut dirinya demikian. Seperti terlihat dalam ceramahnya Ustadz Syam di sebuah stasiun televisi nasional yang diunggah ke media youtube. Ceramah subuh tersebut memang terlihat dipotong, sehingga kita mendapatkan point bahwa di surga ada sebuah “pesta sex.” Sayangnya, kelanjutan dari ceramahnya tidak diulas lebih jauh. Perlu “Tabayyun” dan konfirmasi kepada ustadz yang bersangkutan, apakah memang demikian pendapatnya ?

Tapi, jika memang demikian kepercayaan sang Ustadz maka bisa dikatakan Sangat disayangkan. Disebut sangat disayangkan karena penggambaran surga seperti itu hampir diamini sebagian besar umat ini. Bukankah memang ini juga yang diajarkan sebagian guru-guru agama kita semenjak kecil ? JIka seorang lelaki muslim masuk surga maka kelak akan mendapatkan bidadari. Penggambaran bidadari sebagai sesosok perempuan cantik, molek dan selalu perawan adalah cerita lumrah yang diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam. Penggambaran atau penafsiran seperti ini seakan sudah menjadi kebenaran itu sendiri. Padala, kembali lagi, itu hanyalah penafsiran terhadap ayat-ayat kitab suci. Maka, ketika semasa kecil penulis mengajukan pertanyaan kritis kepada sang guru agama, bagaimana dengan posisi seorang perempuan muslim yang sholeh, apakah ia akan mendapatkan bidadari juga ? Tidak ada jawaban yang memuaskan dari sang guru. Seakan-akan surga itu diperuntukkan untuk Kaum Adam saja.

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dan beramal kebajikan di surga kelak akan memperoleh “azwaajun muthahharah” (Al-Baqarah 25; Alu Imran 15; An-Nisa’ 57) atau “huurun `iin”(Ad-Dukhan 54; Ath-Thur 20; Al-Waqi`ah 22). Barangkali karena kebanyakan penafsir kita laki-laki, maka dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an bahasa Indonesia “azwaajun muthahharah” sering diterjemahkan “istri-istri yang suci”.

Arti terjemahan yang berbau perbedaan gender ini perlu segera mengalami reformasi, sebab dalam bahasa Arab istilah “azwaaj” (plural dari “zawj”) tidak melulu berarti “istri”, melainkan dapat juga berarti “suami” atau “pasangan” atau “kelompok”, tergantung dari konteks masalahnya.

Sedangkan kata “huur”, yang sering diterjemahkan sebagai “bidadari”, berasal dari tiga huruf dasar ha-waw-ra yang artinya “teman setia”. Istilah ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, dan sama sekali tidak merujuk kepada gender tertentu, apalagi dengan konsep “bidadari” yang berasal dari pemikiran pra-Islam. Dari akar kata ha-waw-ra,muncul “huur”, “hawariy” atau “huwaar”, yang semuanya berarti “teman setia”, bisa jadi laki-laki dan mungkin juga perempuan.

Sesungguhnya penafsiran surga yang sering diceritakan dari generasi ke generasi umat Islam sepanjang masa adalah imbalan yang sifatnya duniawi. Imbalan kenikmatan yang “sudah” pernah dirasakan di dunia ini juga. Padahal ,sejatinya seperti disebutkan dalam ayat pembuka di awal paragraf ada penegasan, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti.” Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Saw :

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda : “Allah SWT Berfirman : Telah Aku siapkan bagi Hamba-Hamba-Ku yang sholeh, apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak manusia.” Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Shahih Muslim-Shahih Bukhari).

Dengan demikian, baik dari ayat Al-Qur’an sendiri dan hadits Nabi Saw, kenikmatan surga jauh berada di atas level kenikmatan duniawi, apalagi hanya sekadar “pesta sex” yang dipercayai sebagian kalangan. Dengan kata lain, kenikmatan surgawi adalah sebuah kenikmatan yang belum pernah dirasakan oleh panca indera kita. Sebuah kenikmatan yang melampaui itu semua. seword

No comments:
Write komentar